Santri Dalam Memahami Makna “Fi al-Dunya Hasanah wafi al-Akhirati Hasanah”
Bismillah al-Rahman al-Rahiim
Al-Hamdulillah Wa Syukrulillah,
puji syukur saya sampaikan kehadirat Allah SWT, dengan Berkah dan Rahmat-Nya
lah saya dapat menyajikan untaian kata-kata yang mengalir dari tajamnya mata
pena. Shalawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada baginda yang
mulya, Samudera keutamaan, Bahtera pertolongan, Khatamil Anbiya’ wal Mursalin,
Nabi Muhammad SAW, Keluarga, Shahabat, serta para pengikut-Nya yang setia.
Sebelumnya
saya ucapkan terima kasih yang tidak akan mampu diukur dengan dalamnya lautan
kepada segenap “Murabbi al-Ruuh” yang telah mengorbankan waktunya untuk
menerangi kegelapan, Khususnya kepada Romo KH. Achmad Syifa Cholil (Pengasuh
Pon-pes Al-Ishlah Assalafiyah), Baarakallah Lahum wa Thowwala ‘Umrahum,
Amiin. Dan kepada pembaca kami mohon keikhlasannya untuk memberi saran dan
tidak segan-segan mengkritik apabila terdapat kesalahan dalam penulisan ini.
Telah
maklum adanya, bahwa dalam setiap segi kehidupan, semenjak Manusia pertama
yaitu Abu Al-Basyar (Nabiyullah Adam AS) sampai pada saat dimana
genderang akhir zaman di bunyikan, tidak akan pernah lepas dari koridor keilmuan.
Bahkan posisi kita (Santri) sebagai sumber integrasi keilmuan dituntut
untuk tidak hanya menitik beratkan satu fan ilmu saja dan menganak tirikan
segi-segi ilmu yang lain, tapi lebih dari itu kita harus bisa mengarungi lautan
pengetahuan sebagai bentuk keseimbangan dalam menapaki lurus terjalnya
kehidupan, serta mampu untuk memaknai dan menterjemahkannya. Seperti keterangan
dalam sebuah Hadits: “Barang siapa menghendaki kebahagiaan dunia maka harus
dengan ilmu, menghendaki kebahagiaan Akhirat harus dengan ilmu, menghendaki
kebahagiaan didalam keduanya juga harus dengan ilmu”.
Hadits diatas, secara tekstual sudah
jelas, bahwa dimanapun sebuah kehidupan berlangsung, maka kebahagiaan tidak
akan bisa diraih kecuali dengan melek ilmu pengetahuan. Melihat dari
segi lafadz, seperti yang telah diterangkan oleh ba’dhu al-Ahkam dalam kitab
Durrah Al-Nashihin, bahwa lafadz ILMU itu terdiri dari tiga huruf pokok, yaitu
‘Ain, Lam, dan Mim.
1. ‘Ain
: Huruf ‘ain timbul dari lafadz “Illiyyin yang berarti Keluhuran.
Dapat
diambil pemahaman, dengan ilmu manusia akan mencapai derajat yang tinggi. Seperti
janji Allah yang tercantum dalam Al-Qur’an Surat Al-Mujaadalah: “Niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.
2. Lam
: Huruf Lam diambil dari lafadz al-Luthfu, yang berarti lemah lembut.
Dengan
kata lain, ilmu pengetahuan tidak hanya sebatas untuk dikenal, dinikahi, dan
kemudian disetubuhi, tapi juga untuk menopang manusia agar berjiwa “Akhlaq
Al-Karimah”, sehingga tidak mudah terkontaminasi oleh arus ke-Modernan
yang tidak sesuai dengan tatanan syari’at, sebagai upaya untuk dapat melepaskan
diri dari istilah “memperkosa alam dan lingkungan demi ilmu pengetahuan”.
3. Mim
: Huruf Mim yang dirujuk dari lafadz Al-Mulk yang bermakna kekuasaan.
Dengan
disiplin ilmu pengetahuan, manusia akan memperoleh kekuasaan, seperti
keterangan dalam sebuah hadits yang mengisahkan tentang pilihan Nabiyullah
Sulaiman AS. Dengan ilmu pengetahuanlah kemudian Allah menganugerahkan
kepadanya kekuasaan.
Dilihat
dari lahirnya, secara tidak langsung lafadz ILMU telah memberikan sebuah
pemahaman kepada kita, bahwa setiap huruf dari satuan lafadz tersebut tidak
boleh dicerai beraikan guna untuk mencapai tiga kriteria yang dimaksud. Sebab
apabila salah satu dari ‘Ain, Lam, dan Mim ada yang hilang atau dihilangkan,
maka akan menimbulkan ketimpangan bahkan menjadi boomerang yang mengancam diri
sendiri. Tanpa ‘Ain manusia akan terjerumus pada posisi terendah bahkan terhina,
tanpa Lam manusia akan dengan sekarepe dewe dalam menjalani dan memaknai
kehidupan, (yang dalam kenyataannya memang sudah banyak terjadi yang
demikian), dan tanpa Mim manusia tidak akan sanggup memimpin sekalipun
untuk memimpin diri sendiri, bukankah setiap individu dari kita adalah
pemimpin? “Kullukum Ra’in wa-Kullukum Mas’ulun ‘An Ra’iyyatih”. Begitu juga
dalam disiplin keilmuan, kita tidak boleh memisahkan antara keilmuan dunia (umum),
dan keilmuan yang berbasis agama (akhirat), demi terciptanya kebahagiaan
di setiap sisi kehidupan (Dunia dan Akhirat).
Seperti
yang pernah saya dengar dari pengendikane Romo KH. Achmad Syifa Cholil, Beliau
menjelaskan, bahwa mencari ilmu itu sama seperti orang yang sedang menjala
ikan, kalau kita mau menebar jala selebar-lebarnya, pastilah akan kita dapat
beberapa macam benda, tidak hanya ikan tapi apa saja yang masuk dalam kepungan
jala, seperti sampah, pasir, kotoran, Dll, setelah itu tugas kita sebagai
manusia yang berakal adalah memilahnya. Menjala adalah sebuah ibarat bagi
manusia yang mampu mengepakkan sayap untuk menjelajahi angkasa keilmuan, dan
apa saja yang masuk pada kepungan jala itu adalah sebuah gambaran daripada ilmu
pengetahuan. Walaupun pada hakikatnya ikan (ilmu agama) adalah tujuan
kita untuk menuju kebahagiaan yang hakiki, yaitu sebuah pengetahuan yang dapat
mengantarkan kita pada ridha Allah SWT, tapi kita mempunyai prosedur dalam dan
untuk hidup bersosial. Sebab (disadari atau tidak) ada kesalahan yang
kita lakukan, seolah-olah ilmu pengetahuan yang kita gunakan untuk menerangkan
agama. Ini satu pemikiran yang terbalik, sebab agamalah yang seharusnya
menerangkan ilmu pengetahuan. Ini tidak berarti bahwa agama sama sekali tidak
dapat dijelaskan oleh ilmu pengetahuan, dalam kaitan ini kita harus
berhati-hati jangan sampai timbul anggapan bahwa Al-Qur’an benar karena sesuai
dengan ilmu pengetahuan, tetapi bagaimana kita yakin bahwa ilmu pengetahuan
benar karena sesuai dengan Al-Qur’an (Al-Qur’an Huwa Al-Hall) “Alqur’an
adalah Solusi”.
Sama
halnya seperti yang dijelaskan oleh Kyai Hasanuddin (Klampok Brebes). “Mencari
ilmu itu seperti halnya kita hendak menangkap anak ayam, kalau yang kita tangkap
langsung anak ayamnya maka pastilah induknya akan menyerang kita, tapi kalau
yang ditangkap induk ayamnya terlebih dulu maka tidak hanya anak ayam akan kita
dapat, bahkan pejantan ayampun (jago) akan bisa kita raih”.
Ungkapan dari kedua ulama diatas, adalah sebuah metode dalam pengembaraan mencari jati diri ilmu pengetahuan untuk mewujudkan sebuah kongklusi yang sama yaitu ilmu pengetahuan yang berbasis agama dengan tidak mengesampingkan segi keilmuan lainnya, sehingga dengan pentingnya keseimbangan dalam menapaki kehidupan dunia dan akhirat, maka pantaslah Allah SWT menggambarkan dalam firman-Nya :
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al-Qoshosh : 77).
Hidup di era sekarang, yang banyak dikatakan sebagai zaman Jahiliyah modern, kita (santri) sebagai sumber integrasi keilmuan harus mampu menghindar dan menangkis segala fenomena negative agar selamat dari perangkap ungkapan tersebut, tidak lain dan tidak bukan dengan cara memperdalam serta mengembangkan segi-segi ilmu pengetahuan, dengan harapan dapat menjawab tantangan yang dihadapkan secara lebih memuaskan demi mengulang kembali kegelimangan peradaban islam seperti yang pernah terjadi dizaman abad pertengahan, seperti keterangan dari Syeikh Al-‘Alim Al-Haaj Muammar Chalil Lc (Pembina Ponpes Al-Ishlah Assalafiyah), Beliau menjelaskan, bahwa setengah dari sifatnya ilmu adalah berkembang (Min Shifatil ‘Ilmi An-Numuww). Kalau kita tidak pandai dalam mengatur menu kehidupan, maka kita akan tergilas oleh ganasnya perputaran roda zaman, yang akhirnya menimbulkan efek yang buruk yang tidak hanya kita, tapi orang lain juga terkena imbasnya. Seperti contoh, dengan kemajuan teknologi kalau kita tidak mampu mengendalikannya, maka yang akan terjadi adalah sebaliknya, teknologilah yang akan mencemooh dan merendahkan kita, dan juga orang-orang di sekeliling kita. Maka dari itu, sedini mungkin kita harus menebar benih-benih pengetahuan kemudian memupuknya sehingga berkembang demi mendapatkan buah yang di inginkan, yaitu kehidupan (kebahagiaan) Dunia Akhirat.
Ustadz Hasanuri (Kertasari Brebes) menjelaskan, menilik pada ilmu sosiologi, bahwa perkembangan ilmu pengetahuan juga berkaitan dengan tiga teori, yaitu GENETISME, EMPIRISME, dan KONVERGENSI.
Yang pertama yaitu teori Genetisme yang berarti Keturunan.
Diterangkan dalam sebuah Hadits: “Setiap bayi yang lahirkan itu fitrah (suci), kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan bayi tersebut Yahudi, Nasrani, atau Majusi”. Yang dimaksud dengan fitrah disini bukan sekedar bersih dari noda, tapi dilengkapi dengan potensi kodrati, yang dengan potensi inilah manusia diberi kepercayaan untuk memerankan fungsi ketauhidan di muka bumi. Dalam hal ini (Ilmu pengetahuan), adanya keturunan yang baik sangatlah penting dan wajib untuk dijaga kelestariannya, sebab didalam lingkaran ini sangatlah mempunyai peran penting dalam kehidupan jangka panjang. Seperti yang di jelaskan oleh Al-Mukarram KH. Subhan Ma’mun (Pengasuh Ponpes Assalafiyah), bahwasanya Nabi Musa adalah putra dari orang Shalih, sehingga di berilah Dia kedudukan oleh Allah SWT, walaupun pendidikan yang diterimanya datang dari raja yang lalim (Fir’aun).
Melihat kenyataan yang terjadi sekarang ini, sungguh sangat menyayat dan memprihatinkan, karena sedikit sekali yang memperhatikan adanya faktor keturunan yang baik, malah adanya ungkapan yang bersumber dari Walisanga yaitu MOLIMO (Zina, Judi, Mencuri, Dll) pada zaman modern ini sudah menjadi pemandangan jamak, dari sinilah Santri sebagai sumber keilmuan dituntut untuk tidak hanya melihat yang terjadi disekelilingnya (Pesantren) saja, tapi supaya membuka mata lebar-lebar agar dapat memahami ada apa dan kenapa di luar sana, bukan untuk memata-matai atau menjadi satpam bagi orang lain, tapi untuk mengambil I’tibar agar dapat mengkaji lebih dalam kenyataan yang terjadi, Santri adalah intelektual muslim yang harus bisa menari walaupun dalam kepungan badai sekalipun, bukan sebagai duri yang tumbuh diantara tangkai-tangkai mawar. Keturunan adalah sebuah konsep pribadi yang dapat mendorong manusia menjadi manusia yang sesungguhnya (al-insan al-kamil), berangkat dari sinilah kewajiban menjaga keturunan (Hifdz Al-Nasb) yang baik menjadi salah satu kewajiban, yang mana juga termasuk dari sebagian tujuan Syari’at (Maqashid Al-Syari’ah).
Yang ke-Dua yaitu Teori Empirisme.
Adalah usaha berdasarkan akal fikiran, seperti keterangan dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal: “Dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar”. Pada hakikatnya segala interaksi yang kita lakukan adalah atas kehendak Allah, akan tetapi Allah telah menciptakan akal fikiran supaya manusia dapat berfikir sebagai bentuk ikhtiar, jelas sekali bahwa adanya akal fikiran adalah satu unsur untuk menghasilkan sebuah pemahaman, baik memahami ayat yang tertulis (Alqur’an) ataupun yang tidak tertulis (Alam). Sebab untuk mendapatkan produk hukum harus dengan penelitian, penelitian sungguh tidak akan terbayarkan apabila menafikan akal fikiran. Fikiran adalah satu tanda yang spesifik untuk membedakan antara manusia dan lainnya, (Al-Insan Hayawan Al-Natiq) manusia adalah hewan yang mampu berfikir. Seperti yang pernah saya lihat pada acara Dialog interaktif tentang hukum islam di salah satu stasiun televisi, yang mana sang Narasumber didalam menjawab setiap pertanyaan selalu menggunakan Laptop, yang muncul dalam benak saya, apakah ketika Laptop tersebut lowbat (mati) sang narasumber masih bisa menjawab setiap pertanyaan yang diajukan? Kejadian seperti inilah yang akhirnya menimbulkan sebuah ungkapan bahwa memori manusia telah tergantikan oleh memori yang tertanam dalam sebuah alat (laptop misalnya) sehingga dengan sendirinya akal fikiran yang sehat tidak lagi menjadi keputusan akhir, tapi akan hanya menjadi sebuah batu loncatan. Ini adalah tantangan zaman yang perlu kita (santri) waspadai, sebab kalau kita tidak pandai dalam mengatur langkah kehidupan, maka bukan kita yang menguasai zaman, akan tetapi zamanlah yang akan dengan leluasa menjajah kita (seperti yang banyak terjadi sekarang ini), bagaimana langkah kita selanjutnya setelah melihat kenyataan yang ada, apakah akan tenguk-tenguk saja? Bukankah Islam adalah agama yang sesuai dengan situasi dan kondisi ?
Dan yang ke-Tiga adalah teori Konvergensi.
Adalah menggabungkan antara kedua teori diatas (Genetisme dan Empirisme) demi menghasilkan konklusi yang baik. Keturunan yang baik tanpa dilandasi akal pikiran yang sehat itu tidak jauh dari definisi kumprung (gila), Fikiran yang sehat tanpa didasari nasab yang baik akan menimbulkan peran Negatif pada akhirnya, seperti kisah dari perjalanan Musa Al-Samiriy, Dia adalah anak yang terlantar yang lahir dari rahim seorang pelacur, yang kemudian dipungut oleh malaikat dan di ajarkan kepadanya tentang ilmu pengetahuan, dikarenakan nasab yang tidak baik, maka Dia (Musa Al-Samiriy) memproklamirkan dirinya sebagai Tuhan. Sungguh jelas letak pentingnya keseimbangan dalam menyelami metode pembelajaran demi terciptanya kestabilitasan hidup yang lebih baik, Sabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga mereka mau merubahnya sendiri”.
Keseimbangan dalam mengarungi lautan ilmu pengetahuan, adalah sebagai langkah awal untuk menuju kebahagiaan, seperti halnya hukum Newton, contoh kecil: tukang becak apabila becaknya penuh dengan muatan maka akan terasa berat apabila langsung mengayuhnya, tapi kalau diawali dengan didorong dulu misalnya, maka akan terasa mudah dan ringan. Begitu juga untuk mengatur langkah menuju kejayaan “seperti yang terjadi pada abad pertengahan”, harus dilandasi dengan ilmu pengetahuan yang kokoh guna menopang dari berbagai macam teror kehidupan, dan juga menanam ilmu agama hingga mengakar (kuat) agar supaya tidak terjerumus dalam perangkap ke-Modern-an, dengan begitu cocoklah dengan apa yang sering kita ucapkan dalam do’a “Rabbanaa aatinaa fid Dunya Hasanah (bil-ilmi wal-ibadah) wafil Akhirati Hasanah (bil-jannah) waqinaa ‘Adzaban Naar”,
“Wallahu A’lam Bi al-Shawaab”
Oleh : Kang Khafidzin